Oleh : Drs. H. Saefudin, SH., MH.

Makalah ini membahaskonsepmaqasidul-syari'ah menurut pendapat beberapa ‘ulama.Maqaid al-syari’ah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-Sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-adillah) dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan). Makalah initerutamaberpendapat bahwa diera modern, Muslim diwajibkantidak hanya untuk mempertahankankeyakinan agama merekadan entitasbudaya tetapijugauntuk berkontribusi padaperkembangan peradaban manusia. Timbulnya penemuan-penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan berakibat menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekwensi logis membentuk norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, akan tetapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal antara lain dalam aktivitas ekonomi, Islam memberikan skala normativnya secara global. Untuk menyebut salah satu contohnya, dapat dikemukakan persoalan aktivitas jual beli dan jaminan hutang piutang. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan jual beli yang halal dengan tidak terperinci umpamanya mana yang boleh khiyar dan yang tidak boleh, dan tidak disebutkan pula cara-cara penjaminan hutang piutang dan hukumnya secara terperinci. Hal-hal yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah, diperoleh ketentuannya dengan jalan ijtihad dengan menjadikan konsep maqasid sebagai teori dasar dalam pengembangannya, agar umat Islam terdorong aktif, kreatif dan produktif dalam ikhtiar-ikhtiar kehidupan ekonomi mereka. Selama tujuan hukumnya dapat diketahui, maka akan dapat dilakukan pengembangan hukum Islam berkaitan dengan upaya memajukan ekonomi demi kemaslahatan umat.

Kata kunci:Ijtihad, maqasidal-syari'ah, maslahat, ekonomi Islam.

  1. PENDAHULUAN.

Dinamika perubahan sosial yang dihadapi oleh umat Islam yang terjadi di era modern ini telah menimbulkan sejumlah masalah serius yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara itu,metode-metode yang dikembangkan oleh para pembaharu dalam menjawab permasalahan tersebut belum memuaskan.Metode-metode yang dikembangkan oleh mereka umumnya masih bersifat ad hoc dan terpilah-pilah.[1]

Penerapan metode yang bersifat ad hoc dan terpilah-pilah tersebut, tentu saja belum mampu menghasilkan hukum yang komprehensif.Dengan kata lain, jika ingin menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan berkembang secara konsisten, maka harus dirumuskan metodologi yang sistematis yang mempunyai akar Islam yang kokoh.

Metode ad hoc dan terpisah-pisah tersebut merupakan lanjutan dari kondisi-kondisi sebelumnya, dimana para fuqaha dalam merumuskan dan mengkaji hukum Islam bersifat atomistic. Para fuqaha ketika mengkaji hukum Islam, langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati bentuk hukum Islam tersebut.Fiqih muamalah sebagai pilar ilmu ekonomi Islam misalnya, sangat cocok untuk menjelaskan hal ini, di mana para fuqaha klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan usaha. Oleh karena itu, untuk menjawab kebutuhan diatas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di zaman moderen ini hendaknya ditujukan pada penggalian azas-azas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik tersebut.[2]

Dalam rangka mencari basis teori menuju metode yang holistic tersebut, salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam adalah konsep maqasid al-syari’ah, yakni tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam.Sebegitu pentingnya konsep ini, maka para ahli teori hukum Islam menetapkan maqasid al-syari’ah sebagai salah satu kriteria di samping kriteria lainnya bagi seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad. Makalah ini selanjutnya akan bermaksud membahas bagaimana maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai  basis pengembangan ekonomi Islam.

 

  1. PANDANGAN PARA ULAMA TENTANGMAQASID AL-SYARI’AH.

Jika melihat sejarah perkembangan ushul fiqih sebelum al-Syatibi, tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa istilah maqasid al-syari’ah atau objektif syari’ahbelumlah ditemukan secara eksplisit. Lebih-lebih mengenai pengertiannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Konsep tersebut hanya dapat ditemukan dalam karya-karya ulama moderen yang diilhami oleh pemikiran beliau tentang maqasid al-syari’ah.

Pembicaraan mengenai maqasid al-syari’ah di era sebelum al-Syatibi hanya dapat diidentifikasi secara implisit dalam tema-tema kajian ‘illah hukum dan maslahat.‘Illahyang diartikan dengan suatu perkara yang jelas dan tegas yang menjadi alasan ditetapkannya hukum menjadi tema kajian yang menarik ketika dihubungkan dengan kajian maslahat. Sementara kajian ‘illah ini juga memasuki wilayah kajian teologi ketika dihubungkan dengan pertanyaan apakah hukum yang ditetapkan Tuhan itu berdasarkan ‘illahi (kausa) tertentu atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka tidak bisa tidak, pasti melibatkan alasan-alasan teologis dan hukum.[3]Ringkasnya dapat dikatakan bahwa semua ahli ushul sepakat tentang tujuan akhir dari hukum adalah satu yakni maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[4]

Konkritnya, pengenalan dan pembahasan tentang konsep maqasid al-Syari’ah[5] telah dimulai dari Imam al-Haramain al-Juwaini.Beliau dapat dikatakan sebagai ahli ushul pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum Islam.Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak mampu menetapkan hukum sebelum benar-benar memahami tujuan Allah mengeluarkan perintah dan larangan. Lebih jauh ia mengelaborasi maqasid al-syari’ah tersebut dalam hubungannya dengan ‘illat dan asl yang dapat dikategorikan ke dalam lima bagian, yaitu asl yang masuk dalam kategori dharuriyyat (primer), al-hajah al-‘ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak termasuk kelompok dharuriyyat dan hajiyyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok sebelumya. Singkatnya, al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri’ itu menjadi tiga macam yaitu dharuriyyat, hajiyyat, makramat (tahsiniyyat).

Selanjutnya, pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya yakni al-Ghazali. Beliau menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyyat dalam qiyas dan dalam kesempatan yang lain ia menjelaskannya dalam tema istislah. Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]Kelima macam maslahat di atas berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.Dari keterangan tersebut terlihat bahwa maqasid al-Syari’ah sudah mulai menampakan bentuknya.

Pemikir dan ahli hukum Islam selanjutnya yang membahas secara khusus maqasid al-Syari’ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi’iyyah.Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menarik maslahat dan menolak mafsadat. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan urutan skala prioritas, yaitu dharuriyyat hajiyyat dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menyebutkan bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Izzuddin telah berusaha mengembangkan maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al-Syari’ah.

Penjelasan yang sistematis dan secara khusus serta jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyyah dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Dalam kitabnya yang terkenal tersebut, ia menghabiskan sepertiga dari bukunya untuk membahas maqasid al-syari’ah. Tentunya pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam pembahasannya.Ia dengan secara tegas menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.Karenanya, taklif harus mengarah pada terealisirnya tujuan hukum tersebut.Setiap suruhan dan larangan yang ada dalam ayat dan hadis tidak terlepas dari upaya memelihara kemaslahatan.

Fatkhi ad-Daraini mengomentari bahwa hukum-hukum tidaklah dibuat untuk hukum sendiri melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.[7] Dengan bahasa yang tidak jauh berbeda Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tidak satu pun hukum yang disyari’atkan baik dalam al-Qur’an maupun hadits melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.[8] Pernyataan di atas semakin mempertegas pernyataan al-Syatibi bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.[9] Semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum. Dapat dikatakan bahwa kandungan maqasid al-Syari’ah adalah kemaslahatan. Melalui analisis maqasid al-Syari’ah, kemaslahatan tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum, maqasid al-Syari’ah dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada manusia.

Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at ini dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaan atas lima hal tersebut disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal disebut mafsadah.[10] Dalam usaha untuk mewujudkan dan mempertahankan lima hal pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yaitu:[11]

  1. Kemaslahatan dharuri. Kemaslahatan ini adalah kepentingan yang harus ada untuk terwujudnya kemaslahatan dunia dan akhirat. Apabila kepentingan tersebut tidak ada maka kelangsungan hidup di dunia tidak dapat dipertahankan dan akhirat akan mengalami kerugian eskatologis.[12] Kepentingan ini disebut juga dengan kepentingan primer. Menurut al-Syatibi, perlindungan terhadap lima kemaslahatan yang telah disebutkan di atas digolongkan ke dalam kategori kemaslahatan ini. Untuk mewujudkan tujuan ini disyari’atkan hukuman terhadap orang yang membawa dan menyebarkan ajaran sesat, disyari’atkannya qiyas yang bertujuan untuk melindungi jiwa, pidana dera untuk minum khamar yang bertujuan melindungi akal, pidana zina yang bertujuan melindungi keturunan, pidana pencurian untuk melindungi kekayaan orang yang merupakan sendi kehidupan manusia.[13]
  2. Kemaslahatan hajji, yakni kepentingan yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan yang tanpanya kemaslahatan hidup masih dipertahankan, akan tetapi dalam kesulitan dan tidak normal. Contohnya adalah pemberian hak kepada wali mujbir untuk mengawinkan anak dibawah umur Ini memang bukan merupakan suatu yang bersifat dharuri, akan tetapi sangat dibutuhkan dengan alasan supaya tidak kehilangan jodoh yang sepadan. Ini berbeda halnya dengan hak wali untuk melakukan pengurusan kepentingan pendidikan anak dan pemenuhan kebutuhan lainnya yang berada pada tingkat dharuri karena kebutuhan kepada nafkah dan pemeliharaan yang menyangkut kelangsungan hidup anak.[14]
  3. Kemaslahatan tahsini, yakni perwujudan kepentingan yang tidak bersifat dharuri dan tidak bersifat haji. Dengan kata lain, jika kepentingan ini tidak terwujud, maka tidak menyebabkan kesulitan apalagi mengancam kelangsungan hidup. Sifatnya hanyalah komplementer yang bertujuan untuk mewujudkan praktek ibadah dan muamalat yang lebih baik serta mendorong akhlak dan kebiasaan terpuji.[15] Contohnya adalah pendapat Syafi’i yang melarang jual beli kotoran dan anjing serta semua benda najis. Alasannya dianalogikan dengan jual beli khamar dan bangkai karena najisnya. Penetapan kenajisan kedua benda tersebut mengisyaratkan pandangan bahwa benda tersebut kurang berguna. Kalau dibolehkan jual beli benda tersebut, berarti memberikan penilaian yang menghargai barang itu dan ini bertentangan dengan isyarat-isyarat yang menganggapnya sebagai benda tidak berharga.

Konsep maqasid al-Syari’ah yang dikembangkan oleh al-Syatibi ini sebenarnya telah melampaui pembasan ulama abad-abad sebelumnya.Konsep al-maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari’ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas saja.Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.[16]

Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.[17] At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia.[18]Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.[19]

Berdasarkan berbagai pandangan para ulama di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka sepakat tentang tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan seluruh manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."[20] Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.[21]Adapun inti dari konsep maqasid al-syari’ahadalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

 

  1. PERANAN MAQASID AL-SYARI’AH DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM.

Pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami tentang maqaid al-syari’ah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-adillah) dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur’an dan as-sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan). Metode istinbath al-hukum dengan menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah al-mursalah[22]adalah metode-metode yang dapat dipakai dalam pengembangan hukum Islam dengan mengunakan maqasid al-syari’ah sebagai dasarnya.

Misalnya metode Qiyas baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditentukan maqasid al-syari’ahnya yaitu dengan menemukan ratio legis (illat al-hukm) dari sebuah permasalahan hukum, sebagai contoh hukum tentang khamar menurut penelitian para ulama’ bahwa maqasid al-syari’ah dari diharamkanya khamar adalah karena sifatnya yang dapat memabukkan sehingga dapat merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat al-hukm dari khamar adalah sifat yang memabukkan dan merusak akal, sedangkan khamar hanya salah satu contoh dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya, apalagi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sekali sifat-sifat dari zat-zat kimiawi yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengan contoh khamar diatas, dari sini pengembangan hukum Islam dapat dilakukan dengan mengunakan metode-metode yang ada. Metode penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqasid al-syari’ah dalam penetapan hukumnya dengan menggunakan qiyas, istislah (maslahah murslah), istishab, syad al-dzari’ah dan ’urf oleh kalangan ushuliyyun disebut juga dengan maqasid al-tsanawiyah.

  1. MAQASID AL-SYARI’AH DALAM PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM.

Telah ditegaskan sebelumnya bahwa dalam melakukan ijtihad guna menghadapi berbagai situasi, maka maslahat harus dijadikan prioritas utama, karena ia merupakan tujuan pokok syariat (maqasid asy-syari’ah).[23]Dengan merujuk kepada maslahat, maka fiqih atau produk ijtihad yang lainnya dapat disesuaikan, sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.[24]Penegasan tentang hal ini adalah penting, karena syari’ah memuat prinsip-prinsip umum sebagai strategi dasar yang dapat diaplikasikan dalam berbagai kasus dan keadaan.Di samping itu, syari’at juga menawarkan konsep fleksibelitas, karena di dalam al-Qur’an tidak ditemukan ketentuan dan materi yang bersifat detail. Dengan landasan berpikir seperti ini, sebenarnya syari’at dapat memberikan kontribusinya bagi kemaslahatan masyarakat tanpa berbenturan dengan norma dan nilai-nilai yang lain.[25]

Semua ulama mengakui bahwa the ultimate goal-nya hukum Islam adalah maslahah.Akan tetapi karena semua ulama mempunyai pemikiran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tentang maslahah dari sebuah aturan, maka keadaan yang seperti ini sangat terbuka bagi munculnya subjektivisme pemahaman.Oleh karena itu, untuk kepentingan penderivasian maslahat ke dalam sebuah hukum yang konkrit sekaligus untuk pengembangannya, ada baiknya diperhatikan perjenjangan norma-norma hukum Islam.

Menurut teori ini, ada tiga level norma hukum. Pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah), yakni norma-norma abstrak yang merupakan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan dan persamaan, atau pemeliharaan maslahat yang lima (maqasid al-syari’ah). Norma abstrak inilah yang disebut sebagai tujuam hukum.Kedua, norma antara (tengah) yang digunakan sebagai perantara (alat) untuk mencapai tujuan-tujuan hukum. Norma tengah ini merupakan doktrin-doktrin umum hukum Islam.Doktrin-doktrin umum ini secara konkritnya dalam hukum Islam dibedakan menjadi dua macam, yaitu al-nazariyyat al-fiqhiyyah(asas-asas umum hukum Islam) dan al-qawa’id al-fiqhiyyah(kaidah-kaidah hukum Islam).Ketiga, norma hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah) sebagai aplikasi dari dua norma sebelumnya.[26]

Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkis, di mana norma yang paling abstrak dikonkritisasi atau diejawantahkan dalam norma yang lebih konkrit. Misalnya nilai dasar kemaslahatan dikonkritisasi antara lain dalam asas umum yang berupa kaidah fiqhiyyah, yaitu antara lain al-masyaqqah tajlib al-taisir (kesukaran membawa kemudahan). Asas ini dikonkritisasi lagi dalam bentuk peraturan konkrit dalam hukum perdata misalnya, orang yang sedang dalam kesulitan dana diberi kesempatan untuk penjadwalan kembali hutangnya. Contoh lain adalah nilai dasar kebebasan diejawantahkan dalam norma tengah, yaitu asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyyah al-ta’aqud). Asas kebebasan berkontrak ini dikonkritisasi lagi dalam bentuk norma konkrit boleh membuat akad baru apa saja, misalnya akad asuransi, sepanjang tidak melanggar ketertiban hukum syar’i dan akhlak Islam.[27]

Timbulnya penemuan-penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan berakibat menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekwensi logis membentuk norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, akan tetapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal dalam aktivitas ekonomi, Islam memberikan skala normativnya secara global.[28]Untuk menyebut salah satu contohnya, dapat dikemukakan persoalan aktivitas jual beli dan jaminan hutang piutang.Dalam al-Qur’an hanya disebutkan jual beli yang halal dengan tidak terperinci umpamanya mana yang boleh khiyar dan yang tidak boleh, dan tidak disebutkan pula cara-cara penjaminan hutang piutang dan hukumnya secara terperinci.Hal-hal yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum tersebut, diperoleh ketentuannya dengan jalan ijtihad dengan menjadikan konsep maqasid sebagai teori dasar dalam pengembangannya, agar umat Islam terdorong aktif, kreatif dan produktif dalam ikhtiar-ikhtiar kehidupan ekonomi mereka. Selama tujuan hukumnya dapat diketahui, maka akan dapat dilakukan pengembangan hukum berkaitan dengan masalah yang dihadapi.[29]

Maqashid syari’ah  menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi syari’ah, menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syari’ah.Pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Mengenai aktivitas ekonomi dan bisnis, Islam telah memberikan prinsip-prinsip umum yang harus dipegangi, yaitu:[30]

  1. Prinsip tidak boleh memakan harta orang lain secara batil.
  2. Prinsip saling rela, yakni menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak pilih seseorang dalam muamalah.
  3. Prinsip tidak mengandung praktek ekploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya.

Pendek kata, transaksi apapun yang dilakukan oleh para mukallaf tidak boleh bertentangan dengan asas kemaslahatan, dalam arti kata menimbulkan kerugian  (madharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah).[31]

Dalam aktivitas bisnis kontemporer, jual beli saham misalnya,[32] umat Islam menghadapi berbagai macam keraguan hukum terhadap bisnis ini. Sementara nas al-Qur’an dan hadits tidak menjelaskan bisnis ini secara eksplisit. Berkaitan dengan hal ini kaidah usuliyyah menyatakan “al-aslu fi al-uqud wa al-mu’amalat al-sihhah hatta yaquma al-dalila ‘ala al-batlan wa al-tahrim.”[33] Ada juga kaidah lain yang mengatakan “al-aslu fi al-asyya al-ibahah”.[34] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah obligasi juga merupakan masalah muamalah baru yang belum pernah ada dan tidak pula dikenal oleh para fuqaha sebelumnya. Nas ini juga tidak menyinggung masalah tersebut. Oleh karena itu, hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah. Sejalan dengan kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa muamalah obligasi tersebut adalah boleh sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam muamalah, apalagi jika aktivitas tersebut mengandung maslahah  secara individual maupun komunal.

Selama ini yang menjadi keberatan terhadap bentuk muamalah ini adalah masalah capital gain dalam transaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder ini dapat terjadi penjualan dan pembelian, tidak seperti pasar perdana yang hanya melayani penjualan. Harga dalam pasar sekunder ini tidak ditentukan oleh kesepakatan antara perusahaan (emiten) dan underwriter (penjamin emisi), melainkan ditentukan oleh investor, sehingga harga bisa lebih tinggi dan lebih rendah dibandingkan dengan pasar perdana, sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan keadaan ini, bisa terjadi lembaran saham yang dibeli dipasar sekunder akan dijual kepada investor lain (investor spkelulan) dengan suatu harapan akan memperoleh keuntungan yang disebut dengan capital gain, yakni kelebihan harga dari nilai beli saham. Dengan demikian, tujuan investasi telah bergeser dari orientasi laba keuntungan kepada laba spekulatif. Bergeser juga orientasi pembelian saham dari semata-mata penyertaan modal kepada semata-mata jual beli.[35]

Bila dilihat dari aspek jual beli saja, maka fluktuasi harga saham itu merupakan hal yang wajar dan mubah, sepanjang saham-saham yang diperjualbelikan itu bidang usahanya adalah usaha yang mubah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bisa spekulatif, tidak jarang muncul manuver-manuver tidak sehat yang bisa berwujud konspirasi atau lainnya. Diantara bentuk permainan-permainan tersebut adalah:[36]

  1. Konspirasi antara underwriter, broker dan emiten yang bertujuan agar saham-saham yang ada dapat dipermainkan sesuai dengan keinginan mereka.
  2. Sekelompok pedagang saham menyebar berita bohong sekitar perusahaan penerbit saham.
  3. Permainan serupa juga bisa dilakukan oleh suatu grup perusahaan atau spekulan agar bisa meraup keuntungan besar. Celaka lagi kalau ada investor yang belum mengerti lika-liku dunia bursa akan menjadi makanan empuk bagi para pialang, misalnya dengan melakukan praktek al-najasy (menggoyang harga).

Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi motif capital gain, maka terdapat unsur garar di dalamnya yang di larang oleh Islam. Sementara garar adalah sesuatu yang mengakibatkan tidak sahnya sebuah transaksi karena dapat merusak kemaslahatan bagi para pihak. Disamping itu jual beli saham yang bermotifkan capital gain menempatkan saham tidak berfungsi sebagai bukti penyertaan modal (syirkah) atau investasi (mudharabah), akan tetapi sudah semacam perdagangan lembaran kertas untuk mengadu nasib dan untung di kemudian hari. Maka dalam kaitan ini, Am Saefudin menyatakan bursa efek yang Islami tidak diperdagangkan di pasar modal. Saham merupakan tanda kepemilikan modal perusahaan, maka sifat go public yang senafas dengan Islam bila saham-saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat, karyawan dan buruh perusahaan. Di sinilah fungsi kode etik yang dibuat oleh BAPEPAM (Badan Pengawas Penanaman Modal) untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan manuver tidak sehat dalam jual beli saham.[37]

 

D.KESIMPULAN.

Dari uraian tersebut di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Sebelum kemunculan al-Syatibi dengan konsep maqasid al-syari’ah-nya, mayoritas literatur ushul fiqih hanya mengembangkan pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami maksud syara’ dengan metode yang berbeda-beda dalam menetapkan maqasid tersebut. Pertama, aliran zhahiriyyat yang berpegang teguh pada keterangan syari’ secara harfiyyah untuk menetapkan tujuan syari’at sehingga aliran ini menolak penggunaan ra’yi dan qiyas. Kedua, golongan batiniyyat yang berpegang teguh pada sesuatu yang tersembunyi (rahasia) di balik zahir teks, terpisah dari teks dan bukan dari teks itu sendiri. Kelompok ini antara lain dipegang oleh golongan muta’ammiqin bi al-qiyas (fanatis qiyas) yang berpendapat bahwa tujuan syari’at terdapat pada makna (inti) yang dapat dicapai melalui penalaran akal sehingga jika terdapat pertentangan antara hasil penalaran akal dengan ketentuan harfiah, maka mereka berpaling dari ketentuan nash dan berpegang pada hasil penalaran. Kelompok ketiga adalah kelompok moderat, yang menggabungkan antara makna penalaran akan dan ketetapan harfiyah nas. Al-Syatibi masuk ke dalam kelompok moderat
  2. Para ulama sepakat tentang tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan seluruh manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
  3. Sudah menjadi kesepakatan bahwa dengan konsep maqasid al-syari’ah dapat diketahui bahwa maksud dan tujuan Allah dalam memberikan sebuah ketentuan untuk manusia adalah dalam rangka memelihara kepentingan dan kemanfaatan bagi manusia sendiri. Tidak ada ketentuan yang telah ditetapkan kecuali aturan tersebut memang mengandung kemaslahatan buat manusia.Dengan demikian maka sejatinya konsep maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai blue print dalam menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan perekonomian kontemporer baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Hal ini semakin beralasan bila dihadapkan pada realitas keilmuan ekonomi Islam yang masih mencari bentuk idealnya.Selain itu tujuan akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari'ah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (mashlahah al ibad), karenanya juga merupakan tujuan ekonomi Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid al-Hakim, al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.

Abdul Salam Arif, “Ushul Fiqh Dalam Kajian Bisnis Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.

Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press, 2001

Ahmad ar-Raisuni, Nazariyyah al-Maqosid ‘inda al-Imam al-Syatibi, Riyad: Dar al-Ilmiyyah al-Kitab al-Islami, 1992.

Al- Syatibi, Al--Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Kairo, Mustafa Ahmad, tt., II.

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqosid al-Syari’ah Menurut Syatibi, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Fatkhi al-Daraini, al-Manahij al-Usuliyyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis.

Ibn Taimiyyah, al-Qawaid al-Nuraniyyahal-Fiqhiyyah, Lahore: Idarah Tarjuman al-Sunnah, tt.

Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.

Junaedi, Islam dan Bisnis Enterpreunersialisme (Suatu Studi Fiqih Ekonomi Bisnis Modern),Jakarta: Kalam Mulia, 1993.

John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqih dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.

Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Suarabaya: al-Ikhlas, 1995.

Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

Muhammad Said Romadhon al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Muttahidah, 1992.

Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syari’ah al- Islamiyah, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977).

Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah", Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995.

Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia., (Medan :Pustaka Widyasarana,1995).

Najmuddin at-Tufi, Syarah al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid, 1954. al- Maslahat fi at- Tasyri'i al- Islami wa Najmuddin at- Tufi, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

  1. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, Leicester: Islamic Foundation; Herndon, Va.: III T, 1992.

Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.

Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan(Toestemming) dan Cacat Kehendak ((Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996.

---------------------, Hukum Perjanjian Syari’ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

 

* Hakim pada Pengadilan Agama Ambarawa, Kandidat Doktor Hukum Islam UII Yogyakarta.

[1] Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press, 2001, hal. 49-50.

[2]Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan(Toestemming) dan Cacat Kehendak ((Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996, hal. 3.

[3]Kelompok al-Asy’ari dalam merespon pertanyaan di atas menjawab bahwa diterapkannya hukum Tuhan itu tidak dikaitkan dengan illah tertentu, karena kalau seperti itu maka akan mengakibatkan kurangnya sifat kemahasempurnaan Tuhan, seolah-olah perbuatan tersebut digerakkan oleh selainnya, dan itu adalah mustahil bagi Allah. Kelompok Mu’tazillah menyatakan bahwa hukum Allah itu dikaitkan dengan tujuan yang mendorong ia memberikan sesuatu yang sesuai dengan kemaslahatan hamba-Nya, karena jika tidak demikian halnya, maka perbuatan tersebut akan menjadi sia-sia adanya. Perbuatan yang sia-sia tersebut tidaklah patut keluar dari Allah yang maha sempurna. Untuk mengatasi konflik antara dua kelompok di atas, muncul kelompok penengah yakni kelompok Muturidiyyah. Mereka berpendapat bahwa semua perbuatan Tuhan (termasuk hukum-hukum itu) dikaitkan dengan ‘illah kemaslahatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa ‘illah  tersebut bukan merupakan kewajiban bagi Allah. Kalau perdebatan tersebut dikembalikan kepada kajian tasyri’ hukum, maka perdebatan tersebut mengandung titik lemah karena hanya terfokus pada masalah kemutlakan Tuhan atau masalah tauhid. Sementara itu dalam kajian hukum, kajiannya difokuskan kepada nilai kemanfaatan hukum bagi manusia. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqosid al-Syari’ah Menurut Syatibi, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hal. 58.

[4]Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Suarabaya: al-Ikhlas, 1995, hal. 225.

[5]Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi...., hal. 52-54, sebagai pembanding, Ahmad al-Raisuni memberikan pendapat yang agak berbeda tentang siapa yang pertama sekali mengintrodusir konsep maqosid al-syari’ah ini. Beliau menyebut pionernya adalah al-Turmuzi al-Hakim. Istilah maqosid tersebut banyak digunakan dalam beberapa kitabnya, setelah itu, maqosid dibahas juga oleh beberapa tokoh seperti Ibn Mansur al-Maturidy, Abu Bakar al-Qoffa asy-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan al-Baqillani. Lihat Ahmad ar-Raisuni, Nazariyyah al-Maqosid ‘inda al-Imam al-Syatibi, Riyad: Dar al-Ilmiyyah al-Kitab al-Islami, 1992, hal. 40-46.

[6]Ahmad ar-Raisuni, Nazariyyah, Ibid,.

[7]Fatkhi al-Daraini, al-Manahij al-Usuliyyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975, hal. 28.

[8]Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hal. 366.

[9]Al- Syatibi, Al--Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Kairo, Mustafa Ahmad, tt., II: 54.

[10]Muhammad Said Romadhon al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Muttahidah, 1992, hal. 71.

[11]Al- Syatibi, al-Muwafaqat....., II: hal.8

[12]Ibid., II: 4

[13]Al-Ghazali, al-Mustasfa fi ‘Ilmi al-Usul, hal. 251.

[14]Ibid., hal. 251-252.

[15]Ibid., II: 252.

[16]Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia., (Medan :Pustaka Widyasarana,1995), hlm.34-35.

[17]Ibid.

[18]Najmuddin at-Tufi, Syarah al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid, 1954. al- Maslahat fi at- Tasyri'i al- Islami wa Najmuddin at- Tufi, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hlm.46.

[19]Ibid., hlm. 48 .

[20]Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syari’ah al- Islamiyah, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977), hlm.12.

[21]Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah", Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995.hlm. 97. Pembahasan tentang keadilan sosial dam ranah filsafat hukum dapat dilihat dalam buku John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

[22]Maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum, karena kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.

 

[23]Maqashid syari’ah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi syari’ah. Maqashid syari’ah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syari’ah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syari’ah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syari’ah. Tanpa maqashid syari’ah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi syari’ahnya. Tanpa maqashid syari’ah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syari’ah akan sulit dan lambat berkembang.

[24]Amir Muallim dan Yusdani, Op. Cit., hal. 134.

[25]M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, Leicester: Islamic Foundation; Herndon, Va.: III T, 1992, hal. 247.

[26]Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002, hal. 157-161.

[27]Ibid., hal. 405.

[28]Sejak sekian lama Islam menawarkan sistem keuangan yang lebih munasabah dan stabil berdasarkan keadilan sosial,ekuitikebersamaan serta pertumbuhan ekonomi.Dalam sistem ekonomi yang hendak dibangun dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya,terpenuhinya kelima kebutuhan dasar manusia tersebut yang menjadi inti dari al-maqashid syari’ahyaitu terjaga agamanya (ad-din), terjaga jiwanya (an-nafs), terjaga akal pikirannya (al-aql), terjaga hartanya (al-maal), dan  terjaga keturunannya (an-nashl).Jadi, sistem ekonomi beserta institusi-institusinya harus bisa mengupayakan hal ini untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu social welfare. Hal tersebut merupakan norma universal yang menjadi salah satu parameter sistem ekonomi syari’ah. Lihat pandangan Al-Gozali tentang maslahat dalam Ahmad ar-Raisuni, Nazariyyah, Ibid,.

[29]Abdul Salam Arif, “Ushul Fiqh Dalam Kajian Bisnis Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002, hal. 201.

[30]Ibn Taimiyyah, al-Qawaid al-Nuraniyyahal-Fiqhiyyah, Lahore: Idarah Tarjuman al-Sunnah, hal. 255.

[31]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007, hal. 90.

[32]Pembicaraan masalah ini lebih banyak merujuk tulisan Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqih dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002, hal. 184-194.

[33]Abdul Hamid al-Hakim, al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt, hal. 230.

[34]Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, 1966, hal. 82.

[35]Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqih....., hal. 193.

[36]Junaedi, Islam dan Bisnis Enterpreunersialisme (Suatu Studi Fiqih Ekonomi Bisnis Modern),Jakarta: Kalam Mulia, 1993, hal. 34-35.

[37]Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqih....., hal. 194.

splash